Tambang Emas, Ya itulah sumber Daya yang dimiliki oleh papua. tapi apakah rakyat papua itu sendiri yang menikmatinya? TIDAK.
"PT. Freeport
Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya
dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini adalah
pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasilemas
terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan
eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967)
dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika,
Provinsi Papua.
Freeport
berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut
Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada
Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 1992–2004. Angka ini hampir sama
dengan 2 persen PDB Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam
25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi
kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar.
Mining
International, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas
Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Pada tahun 2003
Freeport Indonesia mengaku bahwa mereka telah membayar TNI untuk mengusir para
penduduk setempat dari wilayah mereka. Menurut laporan New York Times pada
Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan antara tahun 1998 dan 2004 mencapai
hampir 20 juta dolar AS. Freeport Indonesia sering dikabarkan telah melakukan
penganiayaan terhadap para penduduk setempat. Pada Tahun 2011 seorang buruh
bernama Petrus Ajam Seba seorang buruh di PT. Freeport terbunuh. Dahulu di
tengah masyarakat ada mitologi menyangkut manusia sejati, yang berasal dari
sebuah Ibu, yang menjadi setelah kematiannya berubah menjadi tanah yang
membentang sepanjang daerah Amungsal (Tanah Amugme), daerah ini dianggap
keramat oleh masyarakat setempat, sehingga secara adat tidak diizinkan untuk
dimasuki.
Sejak tahun
1971, Freeport Indonesia, masuk ke daerah keramat ini, dan membuka tambang
Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga suku Amugmedipindahkan ke luar dari
wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
Tambang Erstberg
ini habis open-pit-nya pada 1989, dilanjutkan dengan penambangan pada wilayah
Grasberg dengan izin produksi yang dikeluarkan Mentamben Ginandjar Kartasasmita
pada 1996. Dalam izin ini, tercantum pada AMDAL produksi yang diizinkan adalah
300 ribu /ton/hari
Dahulu di tengah
masyarakat ada mitologi menyangkut manusia sejati, yang berasal dari sebuah
Ibu, yang menjadi setelah kematiannya berubah menjadi tanah yang membentang
sepanjang daerah Amungsal (Tanah Amugme), daerah ini dianggap keramat oleh
masyarakat setempat, sehingga secara adat tidak diizinkan untuk dimasuki.
Sejak tahun
1971, Freeport Indonesia, masuk ke daerah keramat ini, dan membuka tambang
Erstberg. Sejak tahun 1971 itulah warga suku Amugme dipindahkan ke luar dari
wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
Tambang Erstberg
ini habis open-pit-nya pada 1989, dilanjutkan dengan penambangan pada wilayah
Grasberg dengan izin produksi yang dikeluarkan Mentamben Ginandjar Kartasasmita
pada 1996. Dalam izin ini, tercantum pada AMDAL produksi yang diizinkan adalah
300 ribu /ton/hari
[sunting]Kontroversi
Menurut karyawan
dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R Moffett, seorang
ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini,
dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya.
Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar
ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk
membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.
Surat-surat dan
dokumen-dokumen lain yang diberikan kepada New York Times oleh para pejabat
pemerintah menunjukkan, Kementerian Lingkungan Hidup telah berkali-kali
memperingatkan perusahaan ini sejak tahun 1997, Freeport melanggar peraturan
perundang-undangan tentang lingkungan hidup. Menurut perhitungan Freeport
sendiri, penambangan mereka dapat menghasilkan limbah/bahan buangan sebesar
kira-kira 6 miliar ton (lebih dari dua kali bahan-bahan bumi yang digali untuk
membuat Terusan Panama). Kebanyakan dari limbah itu dibuang di pegunungan di
sekitar lokasi pertambangan, atau ke sistem sungai-sungai yang mengalir turun
ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz, sebuah hutan
hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.
Sebuah studi
bernilai jutaan dolar tahun 2002 yang dilakukan Parametrix, perusahaan
konsultan Amerika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tinto, mitra bisnisnya, yang
hasilnya tidak pernah diumumkan mencatat, bagian hulu sungai dan daerah dataran
rendah basah yang dibanjiri dengan limbah tambang itu sekarang tidak cocok
untuk kehidupan makhluk hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times
oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New York Times
berkali-kali meminta izin kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk
mengunjungi tambang dan daerah di sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin
khusus bagi wartawan. Semua permintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan
respon secara tertulis. Sebuah surat yang ditandatangani oleh Stanley S Arkin,
penasihat hukum perusahaan ini menyatakan, Grasberg adalah tambang tembaga,
dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa banyak wartawan telah
mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia memperketat aturan
pada tahun 1990-an.
[sunting]Menyadap
e-mail
Menurut seorang
pejabat dan dua bekas pejabat perusahaan yang terlibat dalam mengembangkan
suatu program rahasia, Freeport selama ini menyadap e-mail para aktivis
lingkungan yang melawan perusahaan ini untuk memata-matai apa yang mereka
lakukan. Freeport menolak mengomentari hal ini. Freeport bergandengan tangan
dengan perwira-perwira intelijen TNI, mulai menyadap korespondensi e-mail dan
percakapan telepon lawan-lawan aktivis lingkungannya. Hal ini dikatakan oleh
seorang karyawan Freeport yang terlibat dalam kegiatan ini dan bertugas membaca
e-mail-e-mail tersebut.
Menurut bekas
karyawan dan karyawan Freeport, perusahaan ini juga membuat sistemnya sendiri
untuk mencuri berita-berita melalui e-mail. Caranya adalah dengan membentuk
sebuah kelompok pecinta lingkungan gadungan, yang meminta mereka yang berminat
untuk mendaftar secara online dengan menggunakan kode rahasia (password)
tertentu. Banyak di antara mereka yang mendaftar itu menggunakan password yang
sama seperti yang mereka gunakan untuk e-mail mereka. Dengan cara ini, Freeport
dengan gampang mencuri berita. Menurut seseorang yang waktu itu bekerja untuk
perusahaan ini, awalnya para pengacara Freeport khawatir dengan pencurian ini.
Tetapi, mereka kemudian memutuskan, secara legal perusahaan itu tidak dilarang
untuk membaca e-mail pihak-pihak di luar negeri.
[sunting]Hubungan
Freeport dan TNI
Selama
bertahun-tahun, Freeport memiliki unit pengamanannya sendiri, sementara
militer Indonesia memerangi perlawanan separatis yang lemah dan rendah
gerakannya. Kemudian kebutuhan keamanan ini mulai saling terkait.
Tidak ada
investigasi yang menemukan keterkaitan Freeport secara langsung dengan
pelanggaran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang
menghubungkan Freeport dengan tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI,
dan pada sejumlah kasus kekerasan itu dilakukan dengan menggunakan
fasilitas Freeport. Seorang ahli antropologi Australia, Chris Ballard, yang
pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari
Amerika Serikat, memperkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh
militer antara tahun 1975–1997 di daerah tambang dan sekitarnya.
Pada bulan Maret
1996, kemarahan terhadap perusahaan pecah dalam bentuk kerusuhan ketika
sentimen anti-perusahaan dari beberapa kelompok yang berbeda bergabung.
Freeport
menyadap berita-berita dalam e-mail. Menurut dua orang yang membaca
e-mail-e-mail itu pada saat itu, ada unit-unit militer tertentu, masyarakat
setempat, dan kelompok-kelompok lingkungan hidup yang bekerjasama.
Sebuah pertukaran informasi dengan menggunakan e-mail antara seorang tokoh
masyarakat dengan pimpinan organisasi lingkungan hidup penuh dengan taktik
intelijen militer. Dalam e-mail yang lain, seorang pimpinan organisasi
lingkungan meminta para anggotanya mundur karena demonstrasi telah berubah
menjadi kerusuhan.
Dari wawancara
yang dilakukan, bekas pejabat dan pejabat Freeport menyatakan, mereka
terkejut melihat sejumlah orang dengan potongan rambut militer, mengenakan
sepatu tempur dan menggenggam radio walkie-talkie di antara para perusuh
itu. Orang-orang itu terlihat mengarahkan kerusuhan itu, dan pada satu
ketika, mengarahkan massa menuju ke laboratorium Freeport yang kemudian
mereka obrak-abrik.
[sunting]Keamanan
Dokumen-dokumen
Freeport menunjukkan, dari tahun 1998 sampai 2004 Freeport memberikan hampir 20
juta dolar kepada para jenderal, kolonel, mayor dan kapten militer dan polisi,
dan unit-unit militer. Setiap komandan menerima puluhan ribu dolar, bahkan
dalam satu kasus sampai mencapai 150.000 dolar, sebagaimana tertera dalam
dokumen itu.
Dokumen-dokumen
itu diberikan kepada New York Times oleh seseorang yang dekat dengan Freeport,
dan menurut bekas karyawan maupun karyawan Freeport sendiri, dokumen-dokumen
itu asli alias otentik. Dalam respon tertulisnya kepada New York Times,
Freeport menyatakan bahwa perusahaan itu telah mengambil langkah-langkah yang
perlu sesuai dengan undang-undang Amerika Serikat dan Indonesia untuk
memberikan lingkungan kerja yang aman bagi lebih dari 18.000 karyawannya maupun
karyawan perusahaan-perusahaan kontraktornya. Freeport juga mengatakan tidak
punya alternatif lain kecuali tergantung sepenuhnya kepada militer dan polisi
Indonesia dan keputusan-keputusan yang diambil dalam kaitannya dengan hubungan
dengan pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga keamanannya, adalah kegiatan
bisnis biasa.
Dalam waktu
singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur
militer — barak-barak, kantor-kantor pusat, ruang-ruang makan, jalan — dan
perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis Land Rover dan
Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa tahun. Semua memperoleh sesuatu,
bahkan juga angkatan laut dan angkatan udara. Menurut bekas karyawan dan
karyawan Freeport, ketika itu perusahaan ini sudah merekrut seorang bekas agen
lapangan CIA, dan atas rekomendasinya, perusahaan kemudian mendekati seorang
atase militer di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta dan memintanya untuk
bergabung. Kemudian dua orang bekas perwira militer Amerika Serikat direkrut,
dan sebuah departemen khusus, yang diberi nama Perencanaan Operasi Darurat
(Emergency Planning Operation) didirikan untuk menangani hubungan baru Freeport
dengan militer Indonesia.
Departemen
Perencanaan Operasi Darurat yang baru ini mulai melakukan pembayaran bulanan
kepada para komandan TNI, sementara kantor Pengelolaan Risiko Keamanan
(Security Risk Management office) mengatur pembayaran kepada polisi. Informasi
ini diperoleh dari dokumen-dokumen perusahaan dan keterangan bekas karyawan dan
karyawan Freeport. Menurut dokumen perusahaan, Freeport membayar paling sedikit
20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar) kepada militer dan polisi di Papua dari
tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta dolar
(sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada jangka
waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar.
New York Times
menerima dokumen keuangan Freeport selama tujuh tahun dari seorang yang dekat
dengan perusahaan itu. Tambahan dokumen selama tiga tahun diberikan oleh Global
Witness, sebuah LSM yang mengeluarkan laporan pada bulan Juli, yang berjudul
Paying for Protection (Bayaran Perlindungan) [1] tentang hubungan Freeport
dengan militer Indonesia. Diamird 0'Sullivan, yang bekerja untuk Global Witness
di London, mengkritik pembayaran yang dilakukan Freeport itu.
Menurut
perusahaan, semua pengeluaran yang dilakukannya itu harus melalui proses
pemeriksaan anggaran. Catatan yang diterima New York Times menunjukkan adanya
pembayaran kepada perwira-perwira militer secara perseorangan yang didaftarkan
di bawah topik-topik seperti biaya makanan, jasa administrasi dan tambahan
bulanan. Para komandan yang menerima dana tersebut tidak diharuskan
menandatangani tanda terima.
Pendeta Lowry,
yang pensiun dari Freeport pada bulan Maret 2004 tetapi tetap menjadi konsultan
sampai bulan Juni, mengatakan, sebetulnya tidak ada alasan yang cukup bagi
Freeport untuk memberikan dana secara langsung kepada para perwira militer itu.
Catatan
perusahaan menunjukkan, penerima terbesar adalah komandan pasukan di daerah
Freeport, Letnan Kolonel Togap F. Gultom. Selama enam bulan tahun 2001, ia
diberikan hanya kurang sedikit dari 100.000 dolar untuk biaya makanan, dan
lebih dari 150.000 dolar pada tahun berikutnya. Pada tahun 2002, Freeport juga
memberikan uang kepada paling tidak 10 komandan lainnya mencapai lebih dari
350.000 dolar untuk biaya makan.
Menurut para
bekas karyawan dan karyawan Freeport, pembayaran-pembayaran tersebut dilakukan
kepada para perwira itu, kepada istri-istri dan anak-anak mereka, secara
perorangan. Yang berpangkat jenderal terbang di kelas satu atau kelas bisnis,
dan para perwira yang lebih rendah pada kelas ekonomi, demikian kata Brigadir
Jenderal Ramizan Tarigan yang menerima tiket senilai 14.000 dolar pada tahun
2002 untuk dirinya dan anggota keluarganya.
Jenderal Tarigan
yang menduduki posisi senior di kepolisian mengatakan, para perwira polisi
dibolehkan menerima tiket pesawat udara karena gaji mereka sangat rendah tetapi
adalah melanggar peraturan kepolisian untuk menerima pembayaran uang tunai.
Pada bulan April 2002, Freeport membayar perwira senior militer di Papua, Mayor
Jenderal Mahidin Simbolon, lebih dari 64.000 dolar untuk yang disebut dalam
buku keuangan Freeport sebagai "dana untuk rencana proyek militer tahun
2002".
Delapan bulan
kemudian, di bulan Desember, Jenderal Simbolon menerima lebih dari 67.000 dolar
untuk proyek aksi sipil kemanusiaan. Pembayaran-pembayaran ini pertama kali
dilaporkan Global Witness. Jenderal Simbolon, yang kini menjadi Inspektur
Jenderal Angkatan Darat Indonesia, menolak permohonan untuk diwawancarai.
Pada tahun 2003,
sesudah terjadinya skandal Enron dan disahkannya Undang-undang Sarbanes-Oxley,
yang mengharuskan praktik-praktik akuntansi keuangan yang lebih ketat pada
perusahaan-perusahaan, Freeport mulai melakukan pembayaran kepada unit-unit
militer ketimbang kepada para perwira secara individu. Demikian menurut catatan
yang tersedia dan seperti yang dituturkan oleh bekas karyawan dan karyawan
perusahaan ini.
Menurut catatan,
perusahaan membayar unit-unit polisi di Papua sedikit di bawah angka 1 juta
dolar pada tahun 2003, didaftarkan di bawah topik-topik seperti "tambahan
pembayaran bulanan," "biaya administrasi" dan "dukungan
administratif." Freeport menyatakan kepada New York Times, di dalam
menentukan jenis dukungan yang dapat diberikan, adalah merupakan kebijakan
perusahaan untuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.”
Menurut catatan yang diterima oleh New York Times, pasukan paramiliter polisi,
yaitu Brigade Mobil (Brimob), yang sering dikutip oleh Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat karena kekejamannya, menerima lebih dari 200.000 dolar pada
tahun 2003.. "
BUAT GUE FREEPORT ITU LEBIH BANYAK NGERUGIIIN DARIPADA NGUNTUNGIN. WOI KALIAN PEDULI GA SAMA NASIB SAUDARA SAUDARA KITA DISANA????? GA USAH NGAKU PEDULI KALO HIDUP KALIAN CUMA DIPAKE BUAT HURA HURA, LEHA LEHA BUANG BUANG UANG, SEKOLAH CUMA BUAT GAYA, PERNAH GA KALIAN MIKIRIN MEREKA????????????? MEMANG SAAT INI KITA BELUM BISA MELAKUKAN APA APA, TAPI SETIDAKNYA KITA MEMPUNYAI KEINGINAN DAN USAHA!!!! BELAJAR YANG BENER, JAGA HATI DAN PIKIRAN SUPAYA GA GAMPANG DIBODOHI SAMA NEGARA LAIN. KHUSUSNYA USA! gue tau gue masih cuma bisa ngomong aja, tapi dari hati gue yang paling dalam gue pengen pengen ngebebasin papua dari freeport!!!!!!
mengenaskan membaca artikel yang saya dapat dari wikipedia ini, para pemimpin yang seharusnya melindungi rakyat, dan tanah air ini tetapi malah memudahkan pihak pihak yang tidak punya hati itu unutuk menindas rakyatnya sendiri. Apa karena uang? jabatan? nama baik? Apalah nilai semua itu jika Anda sebagai pemimpin membiarkan rakyat anda tertindas!
PIKIRKAN BAGAIMANA JIKA PAPUA MEMISAHKAN DIRI DARI INDONESIA!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar