"Some people believe football is a matter of life and death, I am very disappointed with that attitude. I can assure you it is much, much more important than that." -BillShankly-
Sabtu, 25 Agustus 2012
Sabtu, 11 Agustus 2012
Olimpiade london 2012 identik dengan Zionisme?
ahme ahem kali ini saya ingin membeberkan fakta yang ada di olimpiade london 2012...
gambar di atas merupakan maskot dari olimpiade london 2012.. bisa terlihat jelas bukan betapa unsur zionis sangat identik dengan olimpiade ini ? mata satu, lalu tulisan zion yg terkandung dalam tulisan ( mungkin di perlihatkan seperti 2012 ) belum lagi lampu stadion yang mnegisyaratkan simbol zionis!. menurut beberapa artikel yang saya baca, keluarga kerajaan inggris memang sering di kaitkan dengan freemason!
kenapa olimpiade london menggunakan maskot yang ditakuti anak anak kecil di inggris? mungkin karena mereka ingin membiasakan kehadiran dajjal yg memang mempunyai mata satu!
gambar di atas merupakan mata uang dolar amerika! ( illuminati !
Senin, 06 Agustus 2012
Pengetahuan Baru :)
Sahabat al Aqsha : Jangan niatkan perjuangan Palestina karena alasan kemanusiaan
ilal
Ahad, 15 Juli 2012 12:01:02
JAKARTA (Arrahmah.com) - Koordinator lembaga solidaritas perjuangan untuk Palestina, Sahabat Al Aqsha menghimbau kepada umat Islam dalam membela dan memperjuangkan Palestina jangan mendasarinya karena alasan kemanusiaan.
" Harus karena Allah, dan ini bukan saya yang mengkonsepkan tetapi al-Qur'an yang mengarahkan seperti itu" Kata zikrullah W. Pramudya ditengah bedah buku "Palestina kewajiban yang terlupakan" karya Syaikh Raghib As Sirjani dalam rangkaian acara Grand launching Ar Rahman Qur'anic Learning (AQL) Islamic center, Tebet Utara, Jakarta, Sabtu (14/7).
Lanjutnya, sebab kalau hanya didasarkan oleh kemanusiaan maka kaum Muslimin belum apa-apa jika dibandingkan dengan relawan-relawan non Muslim di Palestina yang mendedikasikan hidupnya untuk membela hak-hak warga Muslim palestina, seperti pendampingan petani dalam menguasai tanah dan pendampingan anak-anak sekolah yang hendak diperiksa Israel.
"Kita bisa kalah dibanding Rachel Corrie dan lainnya" ujar Zikru.
Lebih dari itu, menurut Zikru, Syaikh Raghib dalam buku tersebut ketika membahas bab kembali kepada Allah, menekankan pentingnya meluruskan niat berjuang membantu Palestina karena Allah. Karena tanpa adanya pelurusan niat akan berefek pada tiga hal. Pertama adalah perjuangan akan bersifat musiman. Kedua, apa yang dilakukan tidak akan tersambung dengan mujahidin Palestina yang di shaf terdepan, serta ketiga tidak akan mendapatkan pahala karena niat yang salah.
"Sedangkan niat menurut Imam Nawawi Rahimahullahmerupakan setengah dari Islam" ungkapnya sembari mengutip syarah hadist tentang niat oleh Imam Nawawi.
Dan hal itu, menurut Zikru, yang disaksikan oleh dia selama tiga minggu di Palestina bahwa pekerjaan utama yang dilakukan oleh Hamas bukanlah berperang. Melainkan membina dan membangun seluruh masyarakat untuk kembali total kepada Allah. Sebab Hamas, sambung Zikru, meyakini bahwa sehebat apapun senjata dan strategi yang Hamas miliki, tidak akan mampu memperoleh kemenangan melawan Israel tanpa pertolongan Allah.
"Sedangkan untuk mendapatkan nasrun minallah wa fathun qorib ada syaratnya, syaratnya ada di 20 sub judul dibuku ini" tuturnya.
Begitu juga, lanjut Zikru, bila memperhatikan fenomena masyarakat Palestina yang tetap tabah dan tenang hidup di negeri yang memiliki sarana dan prasarana terbatas akibat blokade yang dilakukan Israel . Melampaui teori sosial, kata Zikru, bahwa masyarakat akan berontak kepada pimpinannya yang tidak mampu memberikan kesejahteraan.
"Tetapi hal itu tidak dilakukan masyarakat di Palestina, sebab mereka menyandarkan pertolongan hanya kepada Allah" ungkapnya.
Sebelumnya Zikru menjelaskan, bahwa dalam buku gubahan Syaikh Raghib ada 21 sub bab terkait keimanan yang menurutnya bersifat fardhu ain (kewajiban individu yang tidak bisa diwakilkan), dan 152 Sub bab mengenai gerakan yang bersifat fardhu kifayah (kewajiban kolektif yang dapat diwakilkan).
"21 sub bab tersebutlah yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Jika, 21 sub bab tersebut tidak dimiliki, kita tidak sama dengan orang-orang non muslim yang memperjuangkan pula Palestina" imbuhnya.
Sub bab tersebut diantaranya, Kembali total kepada Allah,memahami persoalan seutuhnya, bersungguh-sungguh mengobarkan ruh jihad, berjihad dengan harta, menerapkan syari'at Allah, dan membatalkan pengakuan negara Israel.
"terkait pembatalan pengakuan israel bukanlah persolan politik, melainkan persoalan akidah" jelas zikru.
Dilanjutkan bab mengenai menyerukan arti penting persatuan dan menghindari umat dari perpecahan, menjadikan do'a sebagai salah satu faktor penting dalam mendapatkan pertolongan Allah dan selalu mengingat permasalahan krisis Palestina, mengeluarkan fatwa berkaitan permasalahan palestina, mengajak umat untuk berjihad dengan harta, menjaga semangat umat untuk pergi ke medan jihad, menciptakan pemuda yang tumbuh dalam nafas ibadah kepada Allah, menanamkan niat untuk berjihad di jalan Allah dengan pijakan Palestina, mengajak umat untuk kembali total kepada Allah.
Ia juga sempat menjelaskan tentang bab Pemuda, bahwa ulama palestina sudah mengkonsep perjuangan harus digerakkan oleh para Pemuda yang terbina agamanya.
"Karena ulama meyakini, tidak akan menang jika perjuanganya bukan digerakkan oleh pemuda yang tumbuh dalam nafas Ibadah," jelas Zikru. (bilal/arrahmah.com)
7 pesepakbola yg peduli palestina
Di bawah ini tujuh pemain sepakbola top dunia yang mendukung kemerdekaan Palestina dan menentang penjajahan Israel:
1. Eric Cantona
Siapa yang tidak kenal pemain sepakbola yang satu ini? Dia adalah legenda hidup sepakbola Perancis dan pemain terbaik Liga Primer Inggris di zamannya. Sebagai mantan pesepakbola, Eric Cantona sangat marah ketika ada pemain sepakbola Palestina ditahan oleh Israel tanpa tuduhan yang jelas. "Mereka menjebloskan pemain sepakbola Palestina ke penjara-penjara. Ini bentuk impunitas dan harus diakhiri. Mereka harus memberlakukan kesetaraan terhadap keadilan," ungkap Cantona yang bergabung dalam sebuah organisasi internasional saat mengirim surat 'prihatin' kepada Presiden UEFA, Michel Platini, seperti dikutip AFP, Senin (18/6/2012).
"Sudah waktunya untuk mengakhiri pengecualian hukum terhadap Israel, dan memaksakan diberlakukannya standar baku kesamaan hak, keadilan dan rasa hormat terhadap hukum internasional, yang (selama ini) kita mintakan dari negara-negara lain," ungkap pernyataan di surat itu.
"Saya terkejut dengan tindak rasisme yang marak di Piala Eropa 2012 Polandia-Ukraina. Para petinggi UEFA dan politisi Eropa begitu lantang mengeluarkan kecaman atas tindak rasisme. Tapi mereka lantas diam ketika Israel terpilih menjadi tuan rumah," kecamnya lagi.
2. Frederic Kanoute
Dia adalah salah satu pemain hebat dari klub Sevilla. Di samping itu, dia dikenal sebagai muslim yang taat dan bangga dengan keislamannya. Kanoute juga dikenal dermawan yang banyak menyumbangkan uangnya untuk kegiatan dakwah di Spanyol. Pada tahun 2007 misalnya, pemain terbaik Afrika 2007 ini pernah memberikan gajinya selama setahun, sebesar 700.000 dolar AS atau sekitar Rp 7 miliar untuk menyelamatkan masjid terakhir yang ada di Sevilla. Masjid tersebut sedianya akan dijual karena populasi Muslim di kota tersebut mulai punah. Pemerintah setempat pun akhirnya memberi nama tempat ibadah tersebut sesuai dengan sang pembeli.
"Jika tidak ada Kanoute, kami tidak akan beribadah pada hari Jumat lagi, di mana itu adalah hari yang suci bagi umat muslim," tukas wakil dari komunitas Islam Spanyol, sesaat setelah Kanoute membeli Masjid tersebut, seperti dilansir AFP.
Aksi dukungannya untuk Palestina adalah saat pertandingan sepakbola melawan Devortivo La Coruna di ajang Copa Del Rey (8/1/2009). Usai menjaringkan bola ke gawang lawan, striker asal Mali itu membuka bajunya untuk memperlihatkan kaos dalamnya yang bertuliskan "Palestine". Ini tentu saja dimaksudkan sebagai dukungan pada Palestina yang tengah digempur oleh pasukan Israel di Gaza. Gara-gara selebrasinya ini, wasit langsung mengganjar kartu kuning untuknya. Federasi Sepak Bola Spanyol (REF) juga memberlakukan denda kepada Kanoute sebanyak 3000 euro atau sekitar Rp. 45 juta.
Tanggapan Kanoute atas denda tersebut? ”Itu merupakan sesuatu yang saya rasa harus saya lakukan. Setiap orang seharusnya merasa bertanggung jawab saat menyaksikan ada suatu situasi yang sangat tidak adil itu. Saya merasa 100 persen bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan dan saya tidak takut atas sanksi itu,” ujarnya kepada televisi swasta Telecinco.
3. Christiano Ronaldo
Christiano Ronaldo, bintang asal Portugal yang saat ini bermain untuk Real Madrid, memberikan sepatu emasnya kepada lembaga amal klubnya dalam rangka membantu anak-anak Palestina. Sepatu emas milik Ronaldo itu dilelang seharga 1,4 juta euro.
Sebelumnya ketika masih bermain untuk Manchester United, Inggris, dalam sebuah acara mengenakan kafiyeh Palestina dan ia mendapat kecaman hebat dari lobi-lobi Zionis.
Akan tetapi media massa Inggris menyebut aksi Ronaldo itu menunjukkan kepedulian dan solidaritasnya terhadap krisis Palestina dan warga Jalur Gaza.
4. Diego Maradona
Legenda sepak bola asal Argentina, Diego Maradona, mengatakan bahwa dirinya adalah "penggemar terbesar dan pendukung rakyat Palestina", demikian katanya dalam salah satu komentar langka dari dirinya tentang Timur Tengah.
"The biggest fan and supporter of the Palestinian people," sebagaimana dikutip dari Al Arabiya.
"Ini pendirian saya dan saya tidak akan pernah menyerah. Saya tidak peduli kalau ada yang marah (dengan prinsip saya_red), " kata Maradona kepada kantor berita DPA di Dubai, Senin lalu, (05/03/2012).
Ia menambahkan bahwa ia sangat respek terhadap rakyat Palestina, sembari mengatakan bahwa ia juga "bersimpati dengan mereka dan berpikir bahwa mereka membutuhkan dukungan setiap orang."
Pada bulan Agustus tahun lalu, bintang sepak bola Argentina ini menerima syal hitam-putih Palestina dari penggemarnya. Dia memeluk fansnya itu dan mengucapkan terima kasih, sebelum memberikan tanda kemenangan dan berkata ke arah kamera "Viva Palestina."
Maradona mengatakan bahwa ia mendukung rakyat Palestina dengan cara yang sama saat ia mendukung cucunya yang berusia dua tahun "Benjamin" yang masih membutuhkan dukungan terus-menerus.
"Saya telah berjanji kepada anggota tim nasional Palestina akan mengunjungi Palestina. Saya mendukung masalah rakyat Palestina karena saya dibesarkan sepenuhnya dari perjuangan serta menyadari perjuangan dan konfrontasi ketidakadilan. Palestina adalah negara yang sedang berjuang, " pungkasnya.
Buntut dari dukungannya ini, media Israel ramai-ramai menghujat sang legenda ini.
5. Madjid Bougherra
Kandidat pemain terbaik Afrika 2010 ini adalah bek timnas Aljazair dan mantan pemain Glasgow Rangers. Bougherra berkata, “Saya akan memboikot pertandingan melawan tim Israel tanpa sedikit pun keraguan.” Bougherra pun menyeru kepada seluruh pemain Muslim lain agar berani menyuarakan kebenaran sehingga rakyat Palestina terbebas dari cengkeraman Israel.
“Sebagai Muslim yang mendukung perjuangan Palestina, saya tidak akan pernah menghadapi tim dari Israel,” cetus dia.
Sebelumnya, pada Januari 2009 lalu, ketika masih memperkuat Glasgow Rangers, dalam sebuah pertandingan Bougherra memaksa mengenakan gelang hitam sebagai bentuk protes terhadap aksi militer Israel di Gaza.
6. Pep Guardiola
Mantan pemain Barcelona dan AS Roma serta mantan pelatih Barcelona. Pep mendukung aksi solidaritas Frederic Kanoute kepada Palestina dan menentang denda yang diberikan kepada Kanoute.
Sebelumnya, Kanoute memang telah diberi sanksi 3.000 euro setelah aksi selebrasinyasaat mencetak gol ke gawang Deportivo La Coruna di Piala Raja.
Usai mencetak gol penentu kemenangan itu, Kanoute berselebrasi sambil menunjukkan kaos dalamnya yang bertuliskan dukungan pada Palestina.
"Setiap perang pasti merusak dan terlalu banyak orang yang mati sia-sia," tutup Guardiola.
7. Muhammad Abu Trikah
7. Muhammad Abu Trikah
Bintang Sepakbola Mesir ini pernah menunjukkan tulisan mengenai simpatinya terhadap Gaza di kaos setelah merayakan gol.
Hikmah
Sungguh aneh bila ada orang yang mengaku muslim, berpendidikan, tapi masih saja memuja muji dan mendukung Israel. Sementara semakin banyak orang yang membela Palestina dan menentang penjajahan Israel meskipun mereka non-muslim. Apakah mereka yang mendukung Israel layak disebut muslim? Bukankah setiap muslim yang satu dengan muslim yang lainnya ibarat satu tubuh, jika ada bagian tubuh yang sakit, bagian yang lain akan merasakannya?
Taruhlah mereka bukan muslim. Bukankah sudah mulai banyak orang-orang non-muslim peduli kepada Palestina. Jadi, julukan apa yang layak bagi mereka? Mereka adalah orang yang tidak memiliki hati nurani!
Di depan mata mereka terlihat jelas kekejaman dan kezaliman Israel, tetapi hati mereka telah dibutakan dari kebenaran.
Dukungan yang diberikan oleh para pemain bola dunia sangat berarti bagi rakyat Palestina. Setidaknya rakyat Palestina merasa diperhatikan dan masih ada yang peduli kepada mereka. Yang paling utama bagi kita selaku muslim adalah, dukungan yang diberikan pemain bola top dunia itu dapat menjadi cambuk agar kita lebih bersemangat lagi dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina dan meyakini bahwa kemenangan itu dekat waktunya.
source :http://abu-farras.blogspot.com/2012/06/enam-pemain-sepakbola-dunia-menentang.html
source :http://abu-farras.blogspot.com/2012/06/enam-pemain-sepakbola-dunia-menentang.html
Etnis Rohingya di Myanmar
well, kali gue bakal coba ngebahas etnis rohingya di myanmar. bukannya sok tau atau sok paham agama. tapi karena gue peduli
Diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya tidak terlepas dari Islam phobia yang melanda Barat pasca peledakan gedung WTC 11 September 2001. Disamping itu, Samuel Hungtington dalam bukunya Clash of Civilation menjelaskan bahwa pasca Perang Dingin musuh Barat bukan lagi komunis tetapi Islam. Kondisi ini memicu Barat skeptis tentang Islam. Dengan demikian, fakta ini memperjelas mengapa negara-negara Barat yang selalu menjujung tinggi nilai-nilai HAM sangat lambat beraksi dan cenderung tidak perduli terhadap kasus genosida Muslim Rohingya di Myanmar.
Pertemuan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dengan Presiden Myanmar membicarakan reformasi politik tidak menyentuh warga Musim Rohingya yang selama ini mengalami diskriminasi oleh Pemerintah Myanmar. Berdasarkan laporan lembaga indipenden berbasis di Inggris menyebutkan bahwa sejak berlangsungnya konflik 10 s/d 28 Juni 2012 sedikitnya 650 warga etnis Rohingya tewas, disamping itu sekitar 1200 warga dinyatakan hilang dan 50 ribu warga kehilangan tempat tingal (repubika.co.id).
Realitas ini menunjukan pembantaian Muslim Rohingya bukan hanya konflik sektarian semata, namun sudah mengarah pada genosida. Kondisi ini tidak mengherankan sebuah LSM kesehatan asal Prancis Medicines san Frontiers menepatkan Muslim Rohingya salah satu dari 10 etnis di dunia yang berada dalam bahaya kepunahan.
Politik Xenofobia yang diterapkan Pemerintah Myanmar pasca jatuhnya Un Nu yang digantikan Jendra Ne Win 1962 dengan tidak mengakui keberadaan Muslim Rohingya bagian dari warga negara Myanmar. Selama 50 tahun Muslim Rohingya mengalami serangkaian pembantaian, pembakaran, penjarahan, pembatasan kelahiran, dan penangkapan yang berangsung secara massif menyebabkan eksodus besar-besaran setiap tahunnya.
Ironisnya, pemerintah Myanmar telah melakukan pembiaran bahkan cendrung berpihak pada etnis Arakan yang beragama Budha. Disamping itu, reaksi masyarakat internasional pun menganggap Muslim Rohingya merupakan masalah dalam negeri Myanmar menyebabkan lembaga-lembaga internasional, seperti: PBB dan ASEAN tidak mampu menghentikan diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya.
Diskriminasi Pemerintah
Menurut data resmi pemerintah Myanmar, warga Muslim mencapai 5 persen dari 50 juta total penduduknya. Sebelum dan sesudah Kemerdekaan Myanmar 1960, Umat Islam tersebar di setiap kota. Akibat dari Myanmarnisasi yang diterapkan Pemerintah Myanmar 1962, menyebabkan umat Islam hanya tersisa di 7 kota Arakan, yaitu: Sittwe, Thandue, Kyaw Taw, Kyaw Pyu, Rathedang, Buthudang, dan Mangdow.
Secara histories Muslim Rohingya yang beragama Islam merupakan keturunan etnis Bangali (Bangladesh), sehingga pemerintah Myanmar tidak mengakui mereka sebagai etnis minoritas. Akibatnya, Muslim Rohingya mengalami diskriminasi dari semua aspek kehidupan. Dimana, kekerasan yang dialami Muslim Rohingya seolah tidak berujung, bahkan etnis Budha Arakan menyebutnya sebagai ‘teroris penjajah’, ikon yang dilebelkan Barat terutama Amerika untuk mengdistorsi Umat Islam dengan kata ‘teroris’.
Keberpihakan pemerintah Myanmar terhadap etnis Budha Arakan dengan melakukan pembiaran terhadap Muslim Rohingya Hal ini bisa dilihat kasus tanggal 3 Juni 1912, dimana 10 orang Jamaah Tabligh dibunuh dengan kejam. Dimana, kasus yang menimpa Muslim Rohingya tidak dilaporkan oleh media massa lokal maupun internasional secara serius yang mengakibatkan pembantaian terus menerus berlangsung tanpa prikemanusian. Ironisnya lagi, media massa Myanmar yang pro Rakhine melakukan propkasi mengambarkan Muslim Rohingya telah melakukan teror dengan melakukan pembunuhan dan membakaran rumah-rumah etnis Budha Arakan yang mengakibatkan pembantaian secara sadis yang mengarah pada genosida.
Muslim Rohingya merupakan minoritas terbesar dan diakui keberdaannya sebelum dan awal Kemerdekaan Myanmar. Sejalan dengan perkembangan politik, dimana Pemerintah Myanmar menerapkan politik xenophobia dan Myanmarnisasi jumlah Muslim Rohingya mengalami penurunan akibat dari kekerasan yang dialami. Disamping itu, ketidakpastian hidup yang dialami menyebabkan terjadinya eksodus ke luar negeri, menurut Badan Pengungsi PBB ada sekitar 600 000 Muslim Rohingya berada di Arab Saudi, terdapat 500 000 orang di Pakistan, ada 500 000 orang di Bangladesh, dan 30 000 orang di Malaysia.
Pasca kerusuhan 3 Juni, kehidupan Muslim Rohinya sangat memprihatinkan dimana mereka setiap saat dapat menjadi sasaran kekerasan etnis Budha Rekhine yang didukung pasukan ‘keamanan’ Rakhine. Pasca kerusuhan tidak ada penampungan bagi pengungsi Muslim Rohinya. Ironisnya, reaksi internasional terutama negara-negara Barat yang menagungkan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak beraksi.
Reaksi Internasional
Reaksi masyarakat internasional terhadap genosida pada Muslim Rohingya sangat lambat bahkan cendrung terjadi pembiaran. Dimana, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara yang selama ini mengagung-agungkan HAM dalam hubungan luar negerinya tidak memberikan tekanan politik dan ekonomi kepada Pemerintah Myanmar yang memiliki otoritas tertingi dalam melindungi warga negaranya.
Sehingga, pembantaian terhadap Muslim Rohingya terus menerus berlangsung selama bertahun-tahun. Realitas ini sangat berbeda jika masalah ini terjadi pada warga Yahudi, satu saja menjadi korban maka organisasi intenasional seperti PBB dan negara-negara Barat terutama Amerika akan bereaksi dengan cepat untuk mnghentikan dan mengambil tindakan atas nama HAM. Hal ini membuktikan Barat telah melakukan standar ganda dalam penerapan HAM.
Diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya tidak terlepas dari Islam phobia yang melanda Barat pasca peledakan gedung WTC 11 September 2001. Disamping itu, Samuel Hungtington dalam bukunya Clash of Civilation menjelaskan bahwa pasca Perang Dingin musuh Barat bukan lagi komunis tetapi Islam. Kondisi ini memicu Barat skeptis tentang Islam. Dengan demikian, fakta ini memperjelas mengapa negara-negara Barat yang selalu menjujung tinggi nilai-nilai HAM sangat lambat beraksi dan cenderung tidak perduli terhadap kasus genosida Muslim Rohingya di Myanmar. Akibatnya, Muslim Rohingya yang menjadi minoritas akan menjadi target sasaran pembantaian, sebagaimana yang terjadi 10 Juni 2012 terjadi Martial Law yang merupakan tragedi genosida Muslim Rohingya.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak bersikap tegas terhadap Pemerintah Myanmar yang telah melakukan pembiaran terhadap pembantaian Muslim Rohinga oleh etnis Budha Arakan. Sikap ini tentunya bertentangan dengan Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dalam pergaulan internasional. Kondisi ini sangat berbeda dengan Pemerintahan Iran yang secara tegas meminta kepada Pemerintah Myanmar untuk segera meyelesaikan masalah pembantai Muslim Rohinya.
Sikap yang ditunjungkan Pemerintahan Administrasi Susilo Bambang Yudhoyono sangat disayangkan, sebagai negara yang memiliki pengaruh di ASEAN hanya memilih diam dengan dalih ‘ non intervention’ yang merupakan asas yang dipegang teguh negara-negara anggota ASEAN untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri-negeri masing-masing. Namun, melihat fakta yang ada pembantaian Muslim Rohingya sudah mengarah politik genosida, maka sepatutnya Pemerintahan SBY perlu pro aktif untuk bertindak sebagaimana tuntunan organisasi-organisasi Islam di Indonesia untuk mengutuk keras praktek genosida terhadap Muslim Rohingya.****
Oleh:
Aspiannor Masrie
Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasiona Fisip Unhas
Pertemuan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dengan Presiden Myanmar membicarakan reformasi politik tidak menyentuh warga Musim Rohingya yang selama ini mengalami diskriminasi oleh Pemerintah Myanmar. Berdasarkan laporan lembaga indipenden berbasis di Inggris menyebutkan bahwa sejak berlangsungnya konflik 10 s/d 28 Juni 2012 sedikitnya 650 warga etnis Rohingya tewas, disamping itu sekitar 1200 warga dinyatakan hilang dan 50 ribu warga kehilangan tempat tingal (repubika.co.id).
Realitas ini menunjukan pembantaian Muslim Rohingya bukan hanya konflik sektarian semata, namun sudah mengarah pada genosida. Kondisi ini tidak mengherankan sebuah LSM kesehatan asal Prancis Medicines san Frontiers menepatkan Muslim Rohingya salah satu dari 10 etnis di dunia yang berada dalam bahaya kepunahan.
Politik Xenofobia yang diterapkan Pemerintah Myanmar pasca jatuhnya Un Nu yang digantikan Jendra Ne Win 1962 dengan tidak mengakui keberadaan Muslim Rohingya bagian dari warga negara Myanmar. Selama 50 tahun Muslim Rohingya mengalami serangkaian pembantaian, pembakaran, penjarahan, pembatasan kelahiran, dan penangkapan yang berangsung secara massif menyebabkan eksodus besar-besaran setiap tahunnya.
Ironisnya, pemerintah Myanmar telah melakukan pembiaran bahkan cendrung berpihak pada etnis Arakan yang beragama Budha. Disamping itu, reaksi masyarakat internasional pun menganggap Muslim Rohingya merupakan masalah dalam negeri Myanmar menyebabkan lembaga-lembaga internasional, seperti: PBB dan ASEAN tidak mampu menghentikan diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya.
Diskriminasi Pemerintah
Menurut data resmi pemerintah Myanmar, warga Muslim mencapai 5 persen dari 50 juta total penduduknya. Sebelum dan sesudah Kemerdekaan Myanmar 1960, Umat Islam tersebar di setiap kota. Akibat dari Myanmarnisasi yang diterapkan Pemerintah Myanmar 1962, menyebabkan umat Islam hanya tersisa di 7 kota Arakan, yaitu: Sittwe, Thandue, Kyaw Taw, Kyaw Pyu, Rathedang, Buthudang, dan Mangdow.
Secara histories Muslim Rohingya yang beragama Islam merupakan keturunan etnis Bangali (Bangladesh), sehingga pemerintah Myanmar tidak mengakui mereka sebagai etnis minoritas. Akibatnya, Muslim Rohingya mengalami diskriminasi dari semua aspek kehidupan. Dimana, kekerasan yang dialami Muslim Rohingya seolah tidak berujung, bahkan etnis Budha Arakan menyebutnya sebagai ‘teroris penjajah’, ikon yang dilebelkan Barat terutama Amerika untuk mengdistorsi Umat Islam dengan kata ‘teroris’.
Keberpihakan pemerintah Myanmar terhadap etnis Budha Arakan dengan melakukan pembiaran terhadap Muslim Rohingya Hal ini bisa dilihat kasus tanggal 3 Juni 1912, dimana 10 orang Jamaah Tabligh dibunuh dengan kejam. Dimana, kasus yang menimpa Muslim Rohingya tidak dilaporkan oleh media massa lokal maupun internasional secara serius yang mengakibatkan pembantaian terus menerus berlangsung tanpa prikemanusian. Ironisnya lagi, media massa Myanmar yang pro Rakhine melakukan propkasi mengambarkan Muslim Rohingya telah melakukan teror dengan melakukan pembunuhan dan membakaran rumah-rumah etnis Budha Arakan yang mengakibatkan pembantaian secara sadis yang mengarah pada genosida.
Muslim Rohingya merupakan minoritas terbesar dan diakui keberdaannya sebelum dan awal Kemerdekaan Myanmar. Sejalan dengan perkembangan politik, dimana Pemerintah Myanmar menerapkan politik xenophobia dan Myanmarnisasi jumlah Muslim Rohingya mengalami penurunan akibat dari kekerasan yang dialami. Disamping itu, ketidakpastian hidup yang dialami menyebabkan terjadinya eksodus ke luar negeri, menurut Badan Pengungsi PBB ada sekitar 600 000 Muslim Rohingya berada di Arab Saudi, terdapat 500 000 orang di Pakistan, ada 500 000 orang di Bangladesh, dan 30 000 orang di Malaysia.
Pasca kerusuhan 3 Juni, kehidupan Muslim Rohinya sangat memprihatinkan dimana mereka setiap saat dapat menjadi sasaran kekerasan etnis Budha Rekhine yang didukung pasukan ‘keamanan’ Rakhine. Pasca kerusuhan tidak ada penampungan bagi pengungsi Muslim Rohinya. Ironisnya, reaksi internasional terutama negara-negara Barat yang menagungkan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak beraksi.
Reaksi Internasional
Reaksi masyarakat internasional terhadap genosida pada Muslim Rohingya sangat lambat bahkan cendrung terjadi pembiaran. Dimana, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara yang selama ini mengagung-agungkan HAM dalam hubungan luar negerinya tidak memberikan tekanan politik dan ekonomi kepada Pemerintah Myanmar yang memiliki otoritas tertingi dalam melindungi warga negaranya.
Sehingga, pembantaian terhadap Muslim Rohingya terus menerus berlangsung selama bertahun-tahun. Realitas ini sangat berbeda jika masalah ini terjadi pada warga Yahudi, satu saja menjadi korban maka organisasi intenasional seperti PBB dan negara-negara Barat terutama Amerika akan bereaksi dengan cepat untuk mnghentikan dan mengambil tindakan atas nama HAM. Hal ini membuktikan Barat telah melakukan standar ganda dalam penerapan HAM.
Diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya tidak terlepas dari Islam phobia yang melanda Barat pasca peledakan gedung WTC 11 September 2001. Disamping itu, Samuel Hungtington dalam bukunya Clash of Civilation menjelaskan bahwa pasca Perang Dingin musuh Barat bukan lagi komunis tetapi Islam. Kondisi ini memicu Barat skeptis tentang Islam. Dengan demikian, fakta ini memperjelas mengapa negara-negara Barat yang selalu menjujung tinggi nilai-nilai HAM sangat lambat beraksi dan cenderung tidak perduli terhadap kasus genosida Muslim Rohingya di Myanmar. Akibatnya, Muslim Rohingya yang menjadi minoritas akan menjadi target sasaran pembantaian, sebagaimana yang terjadi 10 Juni 2012 terjadi Martial Law yang merupakan tragedi genosida Muslim Rohingya.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak bersikap tegas terhadap Pemerintah Myanmar yang telah melakukan pembiaran terhadap pembantaian Muslim Rohinga oleh etnis Budha Arakan. Sikap ini tentunya bertentangan dengan Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dalam pergaulan internasional. Kondisi ini sangat berbeda dengan Pemerintahan Iran yang secara tegas meminta kepada Pemerintah Myanmar untuk segera meyelesaikan masalah pembantai Muslim Rohinya.
Sikap yang ditunjungkan Pemerintahan Administrasi Susilo Bambang Yudhoyono sangat disayangkan, sebagai negara yang memiliki pengaruh di ASEAN hanya memilih diam dengan dalih ‘ non intervention’ yang merupakan asas yang dipegang teguh negara-negara anggota ASEAN untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri-negeri masing-masing. Namun, melihat fakta yang ada pembantaian Muslim Rohingya sudah mengarah politik genosida, maka sepatutnya Pemerintahan SBY perlu pro aktif untuk bertindak sebagaimana tuntunan organisasi-organisasi Islam di Indonesia untuk mengutuk keras praktek genosida terhadap Muslim Rohingya.****
Oleh:
Aspiannor Masrie
Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasiona Fisip Unhas
setelah baca artikel diatas gue cuma bisa bilang "keterlaluan". jangan kan negara negara non muslim, negara yang mayoritas muslim pun pemerintahannya hanya bisa diam dan bungkam. ckckckckck
semakin salut sama warga palestina....
REPUBLIKA.CO.ID, -- Ribuan warga Palestina turun ke jalan mengutuk perlakuan diskriminasi yang dialami muslim Rohingya Myanmar. Demonstrasi itu diselenggarakan oleh Departemen Gaza Endowment dan Yayasan Ulama Muslim Palestina.
Dalam aksinya, mereka meminta masyarakat internasional turut aktif menghentikan diskriminasi dan pembantaian terhadap Muslim Rohingya.
"Ini bukan hal yang baru bagi dunia tidak bertindak dan diam, sementara Muslim dibantai. Sedang bila ada pelanggaran kecil di tempat lain di dunia, negara-negara Barat langsung bereaksi atas nama demokrasi," ungkap Salem Salameh dari Yayasan Ulama Muslim Palestina kepada Press TV.
Untuk itu ia meminta seluruh umat muslim di dunia bersatu untuk Muslim Rohingya.
"Kami meminta semua umat Islam seluruh dunia untuk bangun dan melangkah bersama ke depan untuk menghentikan pembantaian terhadap Muslim Rohingya," tambahnya.
Menurut laporan terakhir, hampir 650 dari hampir satu juta Muslim Rohingya tewas selama bentrokan yang terjadi di wilayah barat Rakhine, Myanmar. Sementara 1200 lainnya hilang dan 90 ribu lebih terlantar.
PBB menggambarkan komunitas muslim Rohingya sebagai Palestina dari Asia dan salah satu kelompok minoritas paling teraniaya di dunia.
Pemerintah Myanmar sendiri tidak mengakui Muslim Rohingya dan menyebut mereka sebagai imigran ilegal meski mereka telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.
Dalam aksinya, mereka meminta masyarakat internasional turut aktif menghentikan diskriminasi dan pembantaian terhadap Muslim Rohingya.
"Ini bukan hal yang baru bagi dunia tidak bertindak dan diam, sementara Muslim dibantai. Sedang bila ada pelanggaran kecil di tempat lain di dunia, negara-negara Barat langsung bereaksi atas nama demokrasi," ungkap Salem Salameh dari Yayasan Ulama Muslim Palestina kepada Press TV.
Untuk itu ia meminta seluruh umat muslim di dunia bersatu untuk Muslim Rohingya.
"Kami meminta semua umat Islam seluruh dunia untuk bangun dan melangkah bersama ke depan untuk menghentikan pembantaian terhadap Muslim Rohingya," tambahnya.
Menurut laporan terakhir, hampir 650 dari hampir satu juta Muslim Rohingya tewas selama bentrokan yang terjadi di wilayah barat Rakhine, Myanmar. Sementara 1200 lainnya hilang dan 90 ribu lebih terlantar.
PBB menggambarkan komunitas muslim Rohingya sebagai Palestina dari Asia dan salah satu kelompok minoritas paling teraniaya di dunia.
Pemerintah Myanmar sendiri tidak mengakui Muslim Rohingya dan menyebut mereka sebagai imigran ilegal meski mereka telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.
andaikan warga negara yang menganut budha di indonesia di perlakukan sama seperti etnis rohingya di myanmar,, lalu apa reaksi para penganut budha?
PBB cuma bisa diem dan terlihat cuek dengan adanya kasus ini. ckckckck emg dasarnya mereka ga punya hati
check this out :
itu gambaran sebagian kecil penderitaan etnis rohingya.
REPUBLIKA.CO.ID, "Kami meninggalkan Myanmar karena kami diperlakukan dengan kejam oleh militer. Umat Muslim di sana kalau tidak dibunuh, mereka disiksa," ujar seorang pengungsi, Nur Alam, seperti dikutip BBC, beberapa waktu lalu.
Nur bersama 129 Muslim Rohingya begitu umat Islam yang tinggal di utara Arakan, Myanmar, biasa disebut terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya.
Ia bersama kawan-kawannya nekat melarikan diri dari Myanmar dengan menumpang perahu tradisional sepanjang 14 meter. Mereka berjejalan di atas perahu kayu dengan bekal seadanya. Akibat mesin perahu yang mereka tumpangi rusak, Muslim Rohingya pun harus rela terkatung-katung di lautan yang ganas.
Hingga akhirnya, mereka ditemukan nelayan Aceh dalam kondisi yang mengenaskan. Menurut Nur, mereka terombang-ambing ombak di lautan ganas selama 20 hari. Kami ingin pergi ke Indonesia, Malaysia, atau negara lain yang mau menerima kami, tutur Nur. Demi menyelamatkan diri dan akidah, mereka rela kelaparan dan kehausan di tengah lautan.
Begitulah potret buram kuam Muslim Rohingya yang tinggal di bagian utara Arakan atau negara bagian Rakhine. Kawasan yang dihuni umat Islam itu tercatat sebagai yang termiskin dan terisolasi dari negara Myanmar atau Burma. Daerah itu berbatasan dengan Bangladesh.
Sejak 1982, Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah di negara itu hanya menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya. Terjebak dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan seperti itu, kaum Rohingya pun memilih untuk meninggalkan Myanmar.
Tak mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari negara yang dikuasai Junta Militer itu. Tak jarang mereka harus mengalami kekerasan dan penyiksaan oleh pihak keamanan. Setelah mereka keluar dari negara tersebut, mereka tidak diperkenankan untuk kembali.
Selain itu, umat muslim Rohingya seperti terpenjara di tempat kelahirannya sendiri. Mereka tidak bisa bebas bepergian ke mana pun. Meskipun hanya ingin ke kota tetangga saja, pihak militer selalu meminta surat resmi. Saat ini, sekitar 200 ribu Muslim Rohingnya terpaksa tinggal di kamp pengungsi seadanya di Bangladesh.
Sebagian besar dari mereka yang tidak tinggal di tempat pengungsian resmi memilih untuk pergi ke negara lain melalui jalur laut, terutama melalui Laut Andaman. Kemudian, pihak Pemerintah Thailand juga mengabarkan bahwa mereka telah menahan sebanyak 100 orang Rohingya beberapa waktu yang lalu.
Pemerintah negeri Gajah Putih itu menolak menerima mereka sebagai pengungsi. Untuk mengatasi masalah ini, PBB sudah bergerak melalui salah satu organisasinya yang mengurusi pengungsi, UNHCR.
***
Populasi Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang mencapai 42,7 juta jiwa. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia: Report On The Situation For Muslims In Burma pada Mei tahun 1997. Dalam laporan tersebut, jumlah umat Muslim di Burma mendekati angka 7 juta jiwa.
Mereka kebanyakan datang dari India pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal Inggris, gerakan antikolonialisasi di Burma berusaha menyingkirkan orang-orang dari etnis India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam. Bahkan, umat Muslim di Burma sering sekali menjadi korban diskriminasi.
Pada tahun 1978 dan 1991, pihak militer Burma meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan. Operasi tersebut memicu terjadinya eksodus besar-besaran dari kaum Rohingya ke Bangladesh. Dalam operasi khusus itu, militer tak segan-segan menggunakan kekerasan yang cenderung melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, State Law and Order Restoration Council (SLORC) yang merupakan rezim baru di Myanmar selalu berusaha untuk memicu adanya konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah belah populasi sehingga rezim tersebut tetap bisa menguasai ranah politik dan ekonomi.
Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan Prome. Lalu, pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim.
Kemudian, pada September 1996, SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun di negara bagian Arakan dan menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal jalan yang menghubungkan markas militer baru daerah tersebut. Sepanjang Februari hingga Maret 1997, SLORC juga memprovokasi terjadinya gerakan anti-Muslim di negara bagian Karen.
Sejumlah masjid dihancurkan, Alquran dirobek dan dibakar. Umat Islam di negara bagian itu terpaksa harus mengungsi. Burma Digest juga mencatat, pada tahun 2005, telah muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan) tidak boleh mendapatkan akta kelahiran.
Hasilnya, hingga saat ini banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir. Selain itu, National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk agama Islam.
***
Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Buddha pada kolom agama mereka.
Bahkan, Pemerintah Myanmar sengaja membuat kartu penduduk khusus untuk umat Muslim yang tujuannya untuk membedakan dengan kelas masyarakat yang lain. Umat Muslim dijadikan warga negara kelas tiga. Umat Islam di negera itu juga merasakan diskriminasi di bidang pekerjaan dan pendidikan.
Umat Islam yang tidak mengganti agamanya tak akan bisa mendapatkan akses untuk menjadi tentara ataupun pegawai negeri. Tak hanya itu, istri mereka pun harus berpindah agama jika ingin mendapat pekerjaan.
Pada Juni 2005, pemerintah memaksa seorang guru Muslim menutup sekolah swastanya meskipun sekolah itu hanya mengajarkan kurikulum standar, seperti halnya sekolah negeri, pemerintah tetap menutup sekolah itu.
Sekolah swasta itu dituding mengajak murid-muridnya untuk masuk Islam hanya karena sekolah itu menyediakan pendidikan gratis. Selain itu, pemerintah juga pernah menangkap ulama Muslim di Kota Dagon Selatan hanya karena membuka kursus Alquran bagi anak-anak Muslim di rumahnya. Begitulah nasib Muslim Rohingya.
Nasib buruk yang dialami Muslim Rohingya mulai mendapat perhatian dari Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kantor berita Islam, IINA, pada 1 Juni 2011, melaporkan, Sekretariat Jenderal OKI yang bermarkas di Jeddah telah menggelar sebuah pertemuan dengan para pemimpin senior Rohingya. Tujuannya, agar Muslim Rohingya bisa hidup damai, sejahtera, dan memiliki masa depan yang lebih baik.
Dalam pertemuan itu, para pemimpin senior Rohingya bersepakat untuk bekerja sama dan bersatu di bawah sebuah badan koordinasi. Lewat badan koordiansi itulah, OKI mendukung perjuangan Muslim Rohingya untuk merebut dan mendapatkan hak-haknya.
Nur bersama 129 Muslim Rohingya begitu umat Islam yang tinggal di utara Arakan, Myanmar, biasa disebut terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya.
Ia bersama kawan-kawannya nekat melarikan diri dari Myanmar dengan menumpang perahu tradisional sepanjang 14 meter. Mereka berjejalan di atas perahu kayu dengan bekal seadanya. Akibat mesin perahu yang mereka tumpangi rusak, Muslim Rohingya pun harus rela terkatung-katung di lautan yang ganas.
Hingga akhirnya, mereka ditemukan nelayan Aceh dalam kondisi yang mengenaskan. Menurut Nur, mereka terombang-ambing ombak di lautan ganas selama 20 hari. Kami ingin pergi ke Indonesia, Malaysia, atau negara lain yang mau menerima kami, tutur Nur. Demi menyelamatkan diri dan akidah, mereka rela kelaparan dan kehausan di tengah lautan.
Begitulah potret buram kuam Muslim Rohingya yang tinggal di bagian utara Arakan atau negara bagian Rakhine. Kawasan yang dihuni umat Islam itu tercatat sebagai yang termiskin dan terisolasi dari negara Myanmar atau Burma. Daerah itu berbatasan dengan Bangladesh.
Sejak 1982, Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah di negara itu hanya menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya. Terjebak dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan seperti itu, kaum Rohingya pun memilih untuk meninggalkan Myanmar.
Tak mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari negara yang dikuasai Junta Militer itu. Tak jarang mereka harus mengalami kekerasan dan penyiksaan oleh pihak keamanan. Setelah mereka keluar dari negara tersebut, mereka tidak diperkenankan untuk kembali.
Selain itu, umat muslim Rohingya seperti terpenjara di tempat kelahirannya sendiri. Mereka tidak bisa bebas bepergian ke mana pun. Meskipun hanya ingin ke kota tetangga saja, pihak militer selalu meminta surat resmi. Saat ini, sekitar 200 ribu Muslim Rohingnya terpaksa tinggal di kamp pengungsi seadanya di Bangladesh.
Sebagian besar dari mereka yang tidak tinggal di tempat pengungsian resmi memilih untuk pergi ke negara lain melalui jalur laut, terutama melalui Laut Andaman. Kemudian, pihak Pemerintah Thailand juga mengabarkan bahwa mereka telah menahan sebanyak 100 orang Rohingya beberapa waktu yang lalu.
Pemerintah negeri Gajah Putih itu menolak menerima mereka sebagai pengungsi. Untuk mengatasi masalah ini, PBB sudah bergerak melalui salah satu organisasinya yang mengurusi pengungsi, UNHCR.
***
Populasi Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang mencapai 42,7 juta jiwa. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia: Report On The Situation For Muslims In Burma pada Mei tahun 1997. Dalam laporan tersebut, jumlah umat Muslim di Burma mendekati angka 7 juta jiwa.
Mereka kebanyakan datang dari India pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal Inggris, gerakan antikolonialisasi di Burma berusaha menyingkirkan orang-orang dari etnis India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam. Bahkan, umat Muslim di Burma sering sekali menjadi korban diskriminasi.
Pada tahun 1978 dan 1991, pihak militer Burma meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan. Operasi tersebut memicu terjadinya eksodus besar-besaran dari kaum Rohingya ke Bangladesh. Dalam operasi khusus itu, militer tak segan-segan menggunakan kekerasan yang cenderung melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, State Law and Order Restoration Council (SLORC) yang merupakan rezim baru di Myanmar selalu berusaha untuk memicu adanya konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah belah populasi sehingga rezim tersebut tetap bisa menguasai ranah politik dan ekonomi.
Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan Prome. Lalu, pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim.
Kemudian, pada September 1996, SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun di negara bagian Arakan dan menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal jalan yang menghubungkan markas militer baru daerah tersebut. Sepanjang Februari hingga Maret 1997, SLORC juga memprovokasi terjadinya gerakan anti-Muslim di negara bagian Karen.
Sejumlah masjid dihancurkan, Alquran dirobek dan dibakar. Umat Islam di negara bagian itu terpaksa harus mengungsi. Burma Digest juga mencatat, pada tahun 2005, telah muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan) tidak boleh mendapatkan akta kelahiran.
Hasilnya, hingga saat ini banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir. Selain itu, National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk agama Islam.
***
Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Buddha pada kolom agama mereka.
Bahkan, Pemerintah Myanmar sengaja membuat kartu penduduk khusus untuk umat Muslim yang tujuannya untuk membedakan dengan kelas masyarakat yang lain. Umat Muslim dijadikan warga negara kelas tiga. Umat Islam di negera itu juga merasakan diskriminasi di bidang pekerjaan dan pendidikan.
Umat Islam yang tidak mengganti agamanya tak akan bisa mendapatkan akses untuk menjadi tentara ataupun pegawai negeri. Tak hanya itu, istri mereka pun harus berpindah agama jika ingin mendapat pekerjaan.
Pada Juni 2005, pemerintah memaksa seorang guru Muslim menutup sekolah swastanya meskipun sekolah itu hanya mengajarkan kurikulum standar, seperti halnya sekolah negeri, pemerintah tetap menutup sekolah itu.
Sekolah swasta itu dituding mengajak murid-muridnya untuk masuk Islam hanya karena sekolah itu menyediakan pendidikan gratis. Selain itu, pemerintah juga pernah menangkap ulama Muslim di Kota Dagon Selatan hanya karena membuka kursus Alquran bagi anak-anak Muslim di rumahnya. Begitulah nasib Muslim Rohingya.
Nasib buruk yang dialami Muslim Rohingya mulai mendapat perhatian dari Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kantor berita Islam, IINA, pada 1 Juni 2011, melaporkan, Sekretariat Jenderal OKI yang bermarkas di Jeddah telah menggelar sebuah pertemuan dengan para pemimpin senior Rohingya. Tujuannya, agar Muslim Rohingya bisa hidup damai, sejahtera, dan memiliki masa depan yang lebih baik.
Dalam pertemuan itu, para pemimpin senior Rohingya bersepakat untuk bekerja sama dan bersatu di bawah sebuah badan koordinasi. Lewat badan koordiansi itulah, OKI mendukung perjuangan Muslim Rohingya untuk merebut dan mendapatkan hak-haknya.
Pertemuan itu telah melahirkan Arakan Rohingya Union (ARU) atau Persatuan Rohingya Arakan. Lewat organisasi itu, Muslim Rohingya akan menempuh jalur politik untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami Muslim Rohingya. Semoga.
Langganan:
Postingan (Atom)