Liverpool Fc

Senin, 06 Agustus 2012

Etnis Rohingya di Myanmar

well, kali gue bakal coba ngebahas etnis rohingya di myanmar. bukannya sok tau atau sok paham agama. tapi karena gue peduli

Diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya tidak terlepas dari Islam phobia yang melanda Barat pasca peledakan gedung WTC 11 September 2001. Disamping itu, Samuel Hungtington dalam bukunya Clash of Civilation menjelaskan bahwa pasca Perang Dingin musuh Barat bukan lagi komunis tetapi Islam. Kondisi ini memicu Barat skeptis tentang Islam. Dengan demikian, fakta ini memperjelas mengapa negara-negara Barat yang selalu menjujung tinggi nilai-nilai  HAM sangat lambat beraksi dan cenderung tidak perduli terhadap kasus genosida Muslim Rohingya di Myanmar.

    Pertemuan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dengan Presiden Myanmar membicarakan reformasi politik tidak menyentuh warga Musim Rohingya yang selama ini mengalami diskriminasi oleh Pemerintah Myanmar. Berdasarkan laporan lembaga indipenden berbasis di Inggris menyebutkan bahwa sejak berlangsungnya konflik 10 s/d 28 Juni 2012 sedikitnya 650 warga etnis Rohingya tewas, disamping itu sekitar 1200 warga dinyatakan hilang dan 50 ribu warga kehilangan tempat tingal (repubika.co.id).
Realitas ini menunjukan pembantaian Muslim Rohingya bukan hanya konflik sektarian semata, namun sudah mengarah pada genosida. Kondisi ini tidak mengherankan  sebuah LSM kesehatan asal Prancis Medicines san Frontiers menepatkan Muslim Rohingya salah satu dari 10 etnis di dunia yang berada dalam bahaya kepunahan.
    Politik Xenofobia yang diterapkan Pemerintah Myanmar pasca jatuhnya Un Nu yang digantikan Jendra Ne Win 1962 dengan tidak mengakui keberadaan Muslim Rohingya bagian dari warga negara Myanmar. Selama 50 tahun Muslim Rohingya mengalami serangkaian pembantaian, pembakaran, penjarahan, pembatasan kelahiran, dan penangkapan yang berangsung secara massif menyebabkan eksodus besar-besaran setiap tahunnya. 
Ironisnya, pemerintah Myanmar telah melakukan pembiaran bahkan cendrung berpihak pada etnis Arakan yang beragama Budha. Disamping itu, reaksi masyarakat internasional pun menganggap Muslim Rohingya merupakan masalah dalam negeri Myanmar menyebabkan lembaga-lembaga internasional, seperti: PBB dan ASEAN tidak mampu menghentikan diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya.

Diskriminasi Pemerintah
Menurut data resmi pemerintah Myanmar, warga Muslim mencapai 5 persen dari 50 juta total penduduknya. Sebelum dan sesudah Kemerdekaan Myanmar 1960, Umat Islam tersebar di setiap  kota. Akibat dari Myanmarnisasi yang diterapkan Pemerintah Myanmar 1962, menyebabkan umat Islam hanya tersisa di 7 kota Arakan, yaitu: Sittwe, Thandue, Kyaw Taw, Kyaw Pyu, Rathedang, Buthudang, dan Mangdow. 
Secara histories Muslim Rohingya yang beragama Islam merupakan keturunan etnis Bangali (Bangladesh), sehingga pemerintah Myanmar tidak mengakui mereka sebagai etnis minoritas. Akibatnya, Muslim Rohingya mengalami diskriminasi dari semua aspek kehidupan. Dimana, kekerasan yang dialami Muslim Rohingya seolah tidak berujung, bahkan etnis Budha Arakan menyebutnya sebagai ‘teroris penjajah’, ikon yang dilebelkan Barat terutama Amerika  untuk mengdistorsi Umat Islam dengan kata ‘teroris’.
    Keberpihakan pemerintah Myanmar terhadap etnis Budha Arakan dengan melakukan pembiaran terhadap  Muslim Rohingya  Hal ini bisa dilihat kasus tanggal  3 Juni 1912, dimana 10 orang Jamaah Tabligh dibunuh dengan kejam. Dimana, kasus yang menimpa Muslim Rohingya tidak dilaporkan oleh media massa lokal maupun internasional secara serius yang mengakibatkan pembantaian terus menerus berlangsung tanpa prikemanusian. Ironisnya lagi, media massa Myanmar yang pro Rakhine melakukan propkasi mengambarkan Muslim Rohingya telah melakukan teror dengan melakukan pembunuhan dan membakaran rumah-rumah etnis Budha Arakan yang mengakibatkan  pembantaian secara sadis yang mengarah pada genosida.
    Muslim Rohingya merupakan minoritas terbesar dan diakui keberdaannya sebelum dan awal Kemerdekaan Myanmar. Sejalan dengan perkembangan politik, dimana Pemerintah Myanmar menerapkan politik xenophobia dan Myanmarnisasi jumlah Muslim Rohingya mengalami penurunan  akibat dari kekerasan yang dialami.  Disamping itu, ketidakpastian hidup yang dialami menyebabkan terjadinya eksodus ke luar negeri, menurut Badan Pengungsi PBB ada sekitar 600 000 Muslim Rohingya berada di Arab Saudi, terdapat 500 000 orang di Pakistan, ada 500 000 orang di Bangladesh, dan 30 000 orang di Malaysia. 
Pasca kerusuhan 3 Juni, kehidupan Muslim  Rohinya sangat memprihatinkan dimana mereka setiap saat dapat menjadi sasaran kekerasan  etnis  Budha Rekhine yang didukung pasukan ‘keamanan’ Rakhine. Pasca kerusuhan tidak ada penampungan bagi pengungsi  Muslim Rohinya. Ironisnya, reaksi internasional terutama negara-negara Barat yang menagungkan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak beraksi.

Reaksi Internasional
Reaksi masyarakat internasional terhadap genosida pada Muslim Rohingya sangat lambat bahkan cendrung terjadi pembiaran. Dimana, lembaga-lembaga internasional dan negara-negara yang selama ini mengagung-agungkan HAM dalam hubungan luar negerinya tidak memberikan tekanan politik dan ekonomi kepada Pemerintah Myanmar yang memiliki otoritas tertingi dalam melindungi warga negaranya. 
Sehingga, pembantaian terhadap Muslim Rohingya terus menerus berlangsung selama bertahun-tahun. Realitas ini sangat berbeda jika masalah ini terjadi pada warga Yahudi, satu saja menjadi korban maka organisasi intenasional seperti PBB dan negara-negara Barat terutama Amerika akan bereaksi dengan cepat untuk mnghentikan dan mengambil tindakan atas nama HAM. Hal ini membuktikan Barat telah melakukan standar ganda dalam penerapan HAM.
Diskriminasi yang dialami Muslim Rohingya tidak terlepas dari Islam phobia yang melanda Barat pasca peledakan gedung WTC 11 September 2001. Disamping itu, Samuel Hungtington dalam bukunya Clash of Civilation menjelaskan bahwa pasca Perang Dingin musuh Barat bukan lagi komunis tetapi Islam. Kondisi ini memicu Barat skeptis tentang Islam. Dengan demikian, fakta ini memperjelas mengapa negara-negara Barat yang selalu menjujung tinggi nilai-nilai  HAM sangat lambat beraksi dan cenderung tidak perduli terhadap kasus genosida Muslim Rohingya di Myanmar. Akibatnya, Muslim Rohingya yang menjadi minoritas akan menjadi target sasaran pembantaian, sebagaimana yang terjadi 10 Juni 2012 terjadi Martial Law yang merupakan tragedi genosida Muslim Rohingya.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak bersikap tegas terhadap Pemerintah Myanmar yang telah melakukan pembiaran terhadap pembantaian Muslim Rohinga oleh etnis Budha Arakan. Sikap ini tentunya bertentangan dengan Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas dan aktif yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dalam pergaulan internasional. Kondisi ini sangat berbeda dengan Pemerintahan Iran yang secara tegas meminta kepada Pemerintah Myanmar untuk segera meyelesaikan masalah pembantai Muslim Rohinya. 
Sikap yang ditunjungkan Pemerintahan Administrasi Susilo Bambang Yudhoyono sangat disayangkan, sebagai negara yang memiliki pengaruh di ASEAN hanya memilih diam dengan dalih ‘ non intervention’ yang merupakan asas yang dipegang teguh negara-negara anggota ASEAN untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri-negeri masing-masing. Namun, melihat fakta yang ada pembantaian Muslim Rohingya sudah mengarah politik genosida, maka sepatutnya Pemerintahan SBY perlu pro aktif untuk bertindak sebagaimana tuntunan organisasi-organisasi Islam di Indonesia untuk mengutuk keras praktek genosida terhadap Muslim Rohingya.****

Oleh:
Aspiannor Masrie
Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasiona Fisip Unhas

setelah baca artikel diatas gue cuma bisa bilang "keterlaluan". jangan kan negara negara non muslim, negara yang mayoritas muslim pun pemerintahannya hanya bisa diam dan bungkam. ckckckckck 

semakin salut sama warga palestina....

REPUBLIKA.CO.ID, -- Ribuan warga Palestina turun ke jalan mengutuk perlakuan diskriminasi yang dialami muslim Rohingya Myanmar. Demonstrasi itu diselenggarakan oleh Departemen Gaza Endowment dan Yayasan Ulama Muslim Palestina. 

Dalam aksinya, mereka meminta masyarakat internasional turut aktif menghentikan diskriminasi dan pembantaian terhadap Muslim Rohingya. 

"Ini bukan hal yang baru bagi dunia tidak bertindak dan diam, sementara Muslim dibantai. Sedang bila ada pelanggaran kecil di tempat lain di dunia, negara-negara Barat langsung bereaksi atas nama demokrasi," ungkap Salem Salameh dari Yayasan Ulama Muslim Palestina kepada Press TV. 

Untuk itu ia meminta seluruh umat muslim di dunia bersatu untuk Muslim Rohingya. 

"Kami meminta semua umat Islam seluruh dunia untuk bangun dan melangkah bersama ke depan untuk menghentikan pembantaian terhadap Muslim Rohingya," tambahnya. 

Menurut laporan terakhir, hampir 650 dari hampir satu juta Muslim Rohingya tewas selama bentrokan yang terjadi di wilayah barat Rakhine, Myanmar. Sementara 1200 lainnya hilang dan 90 ribu lebih terlantar. 

PBB menggambarkan komunitas muslim Rohingya sebagai Palestina dari Asia dan salah satu kelompok minoritas paling teraniaya di dunia. 

Pemerintah Myanmar sendiri tidak mengakui Muslim Rohingya dan menyebut mereka sebagai imigran ilegal meski mereka telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.  


andaikan warga negara yang menganut budha di indonesia di perlakukan sama seperti etnis rohingya di myanmar,, lalu apa reaksi para penganut budha?

PBB cuma bisa diem dan terlihat cuek dengan adanya kasus ini. ckckckck emg dasarnya mereka ga punya hati

check this out : 

itu gambaran sebagian kecil penderitaan etnis rohingya.

REPUBLIKA.CO.ID,  "Kami meninggalkan Myanmar karena kami diperlakukan dengan kejam oleh militer. Umat Muslim di sana kalau tidak dibunuh, mereka disiksa," ujar seorang pengungsi, Nur Alam, seperti dikutip BBC, beberapa waktu lalu. 

Nur bersama 129 Muslim Rohingya begitu umat Islam yang tinggal di utara Arakan, Myanmar, biasa disebut terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya.

Ia bersama kawan-kawannya nekat melarikan diri dari Myanmar dengan menumpang perahu tradisional sepanjang 14 meter. Mereka berjejalan di atas perahu kayu dengan bekal seadanya. Akibat mesin perahu yang mereka tumpangi rusak, Muslim Rohingya pun harus rela terkatung-katung di lautan yang ganas.

Hingga akhirnya, mereka ditemukan nelayan Aceh dalam kondisi yang mengenaskan. Menurut Nur, mereka terombang-ambing ombak di lautan ganas selama 20 hari. Kami ingin pergi ke Indonesia, Malaysia, atau negara lain yang mau menerima kami, tutur Nur. Demi menyelamatkan diri dan akidah, mereka rela kelaparan dan kehausan di tengah lautan.

Begitulah potret buram kuam Muslim Rohingya yang tinggal di bagian utara Arakan atau negara bagian Rakhine. Kawasan yang dihuni umat Islam itu tercatat sebagai yang termiskin dan terisolasi dari negara Myanmar atau Burma. Daerah itu berbatasan dengan Bangladesh.

Sejak 1982, Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah di negara itu hanya menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya. Terjebak dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan seperti itu, kaum Rohingya pun memilih untuk meninggalkan Myanmar.

Tak mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari negara yang dikuasai Junta Militer itu. Tak jarang mereka harus mengalami kekerasan dan penyiksaan oleh pihak keamanan. Setelah mereka keluar dari negara tersebut, mereka tidak diperkenankan untuk kembali.

Selain itu, umat muslim Rohingya seperti terpenjara di tempat kelahirannya sendiri. Mereka tidak bisa bebas bepergian ke mana pun. Meskipun hanya ingin ke kota tetangga saja, pihak militer selalu meminta surat resmi. Saat ini, sekitar 200 ribu Muslim Rohingnya terpaksa tinggal di kamp pengungsi seadanya di Bangladesh.

Sebagian besar dari mereka yang tidak tinggal di tempat pengungsian resmi memilih untuk pergi ke negara lain melalui jalur laut, terutama melalui Laut Andaman. Kemudian, pihak Pemerintah Thailand juga mengabarkan bahwa mereka telah menahan sebanyak 100 orang Rohingya beberapa waktu yang lalu.

Pemerintah negeri Gajah Putih itu menolak menerima mereka sebagai pengungsi. Untuk mengatasi masalah ini, PBB sudah bergerak melalui salah satu organisasinya yang mengurusi pengungsi, UNHCR.

                                                                          ***
 
Populasi Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang mencapai 42,7 juta jiwa. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia: Report On The Situation For Muslims In Burma pada Mei tahun 1997. Dalam laporan tersebut, jumlah umat Muslim di Burma mendekati angka 7 juta jiwa.

Mereka kebanyakan datang dari India pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal Inggris, gerakan antikolonialisasi di Burma berusaha menyingkirkan orang-orang dari etnis India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam. Bahkan, umat Muslim di Burma sering sekali menjadi korban diskriminasi.

Pada tahun 1978 dan 1991, pihak militer Burma meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan. Operasi tersebut memicu terjadinya eksodus besar-besaran dari kaum Rohingya ke Bangladesh. Dalam operasi khusus itu, militer tak segan-segan menggunakan kekerasan yang cenderung melanggar hak asasi manusia.
 
Selain itu, State Law and Order Restoration Council (SLORC) yang merupakan rezim baru di Myanmar selalu berusaha untuk memicu adanya konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah belah populasi sehingga rezim tersebut tetap bisa menguasai ranah politik dan ekonomi.

Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan Prome. Lalu, pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim.
 
Kemudian, pada September 1996, SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun di negara bagian Arakan dan menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal jalan yang menghubungkan markas militer baru daerah tersebut. Sepanjang Februari hingga Maret 1997, SLORC juga memprovokasi terjadinya gerakan anti-Muslim di negara bagian Karen.

Sejumlah masjid dihancurkan, Alquran dirobek dan dibakar. Umat Islam di negara bagian itu terpaksa harus mengungsi. Burma Digest juga mencatat, pada tahun 2005, telah muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan) tidak boleh mendapatkan akta kelahiran.

Hasilnya, hingga saat ini banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir. Selain itu, National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk agama Islam.

                                                                           ***

Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Buddha pada kolom agama mereka.

Bahkan, Pemerintah Myanmar sengaja membuat kartu penduduk khusus untuk umat Muslim yang tujuannya untuk membedakan dengan kelas masyarakat yang lain. Umat Muslim dijadikan warga negara kelas tiga. Umat Islam di negera itu juga merasakan diskriminasi di bidang pekerjaan dan pendidikan.

Umat Islam yang tidak mengganti agamanya tak akan bisa mendapatkan akses untuk menjadi tentara ataupun pegawai negeri.  Tak hanya itu, istri mereka pun harus berpindah agama jika ingin mendapat pekerjaan.

Pada Juni 2005, pemerintah memaksa seorang guru Muslim menutup sekolah swastanya meskipun sekolah itu hanya mengajarkan kurikulum standar, seperti halnya sekolah negeri, pemerintah tetap menutup sekolah itu.

Sekolah swasta itu dituding mengajak murid-muridnya untuk masuk Islam hanya karena sekolah itu menyediakan pendidikan gratis. Selain itu, pemerintah juga pernah menangkap ulama Muslim di Kota Dagon Selatan hanya karena membuka kursus Alquran bagi anak-anak Muslim di rumahnya. Begitulah nasib Muslim Rohingya.

Nasib buruk yang dialami Muslim Rohingya mulai mendapat perhatian dari Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kantor berita Islam, IINA, pada 1 Juni 2011, melaporkan, Sekretariat Jenderal OKI yang bermarkas di Jeddah telah menggelar sebuah pertemuan dengan para pemimpin senior Rohingya. Tujuannya, agar Muslim Rohingya bisa hidup damai, sejahtera, dan memiliki masa depan yang lebih baik.

Dalam pertemuan itu, para pemimpin senior Rohingya bersepakat untuk bekerja sama dan bersatu di bawah sebuah badan koordinasi. Lewat badan koordiansi itulah, OKI mendukung perjuangan Muslim Rohingya untuk merebut dan mendapatkan hak-haknya.
Pertemuan itu telah melahirkan Arakan Rohingya Union (ARU) atau Persatuan Rohingya Arakan. Lewat organisasi itu, Muslim Rohingya akan menempuh jalur politik untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami Muslim Rohingya. Semoga.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar